Di
mana ada niat, di situ ada jalan. Meski awalnya jadi tertawaan orang,
Ikrar Mallarangeng, Finalis Nasional Wirausaha Muda Mandiri 2010,
berhasil membuktikan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin jika
dibarengi usaha maksimal.
Ikrar
meraih kesuksesan setelah menekuni pembuatan alat musik tradisional,
usaha yang awalnya dianggap banyak orang tidak prospektif. Tantangan
langsung datang ketika dia memutuskan untuk memulai bisnis itu.
“Waktu
pertama merintis usaha, saya sering disepelekan dan ditertawakan,
kenapa sarjana kerjanya hanya membuat kecapi, pekerjaan tak bermasa
depan,”ungkap Ikrar menirukan cibiran yang menerpanya.
Ikrar
tak surut langkah dengan berbagai cibiran tersebut. Pria kelahiran 19
Oktober 1986 ini membulatkan tekad memulai usaha setelah menemukan fakta
langkanya produksi alat musik tradisional. Hal ini sesuai dengan
pengalaman pribadinya, dimanaBerdasarkan pengalamannya, Sanggar
Barugayya, sebuah sanggar kesenian di Kabupaten Maros tempat dia
bergabung selalu kesulitan mendapatkan kecapi saat akan pentas.
“Pada
malam pergantian tahun 2007 ke 2008, Sanggar Barugayya mendapat
undangan tampil di Kabupaten Soppeng. Kami kesulitan mencari kacaping
(kecapi) serta keso-keso saat itu. Padahal alat musik tersebut
merupakan pendukung utama pertunjukan,”tuturnya.
Dari
situ, Ikrar yang senang bermain kecapi, akhirnya memutuskan untuk
membuat alat musik tersebut meski dia sama sekali tidak memiliki
keahlian memahat dan mengukir kayu. Ikrar memulai dengan modal Rp500
ribu yang diperolehnya dari beasiswa bantuan belajar mahasiswa (BBM) di
kampusnya. Modal itu kemudian digunakan membeli kayu bangkala (bance)
sebagai bahan dasar.
Setelah
kecapi tersebut jadi, Ikrar berinisitif membuat blog sederhana untuk
mempromosikan produknya. Dalam blog itu diciptakan kesan seolah-olah dia
pengusaha besar yang memproduksi kecapi dalam jumlah banyak. Strategi
itu berhasil. Pesanan pertama datang dari Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata (Kemenbudpar) yang memesan tujuh kecapi, terdiri atas dua
kecapi berukir, dua kecapi biasa, satu keso-keso, dan dua souvenir
miniatur kecapi. Dari penjualan ini dia mengantongi Rp9 juta.
Meski
demikian, usaha Ikrar tak selamanya berjalan mulus. Dalam
perjalanannya, pria 25 tahun ini sempat mengalami kebangkrutan. Di
titik terendah ini, semangat dari keluarga menjadi pendorong untuk
bangkit kembali.
Evaluasi
dan introspeksi diri pun dilakukan. Alumnus Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia Timur (UIT) ini kembali merintis usahanya.
Pertemuan dengan beberapa wirausaha muda di daerahnya semakin
menginspirasi dia untuk tidak patah arang. “Perasaan yang timbul bahwa
saya tidak bisa, saya patahkan dengan keyakinan kecapi yang akan
membesarkan saya,”katanya.
Kemajuan
semakin terasa saat Ikrar mendapat bantuan modal dari Bank Mandiri
sebesar Rp50 juta. Dana itu digunakan mengembangkan usaha dengan
merekrut sembilan pekerja. Ikrar sebagai penyedia alat dan bahan,
sementara para pekerja diupah berdasarkan jumlah alat musik yang
dihasilkan.
Semangat
pantang menyerah itu terbukti membawa hasil signifikan. Pada 2010,
usaha kecapinya kembali maju. Alat musik dan miniatur kecapi
produksinya terpajang di salah satu gerai seni di kawasan wisata alam
Bantimurung, Maros. Selain itu, kecapi buatannya juga merambah ke
sekolah-sekolah sebagai bahan ajar muatan lokal di tingkat SMP dan SMA.
Tidak hanya di Maros, melainkan juga ke beberapa kabupaten lain di
Sulawesi Selatan, di antaranya Kabupaten Bone dan Malili.
Dengan
memanfaatkan jaringan pertemanan, alat musik tradisional beserta
miniaturnya itu sudah menyebar ke Bali, Yogyakarta, dan Jakarta. Produk
itu bahkan menembus pangsa luar negeri yakni ke Shanghai dan Cekoslavia
melalui kerja sama dengan Kemenbudpar.
Ikrar
membandrol kecapi berukir buatannya hingga Rp3 juta per buah.
Sementara untuk souvenir, ada yang dijual seharga Rp75.000. Untuk
menghasilkan alat musik, dia membeli kayu jadi siap diolah, adapun untuk
souvenir biasanya memanfaatkan limbah kayu hasil pabrikan besar.
“Yang
paling saya syukuri dari usaha ini adalah bisa membantu menyediakan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Kesuksesan seseorang tidak hanya
ditilik dari kesuksesan finansial, tapi bagaimana memberi manfaat
sebesar-besarnya bagi lingkungan sekitar,”tutur dia.
Keikutsertaan
pada ajang Wirausaha Muda Mandiri (WMM) diakui Ikrar sangat bermanfaat
dalam pengembangan usahanya. Ikrar bersama finalis lainnya mendapat
kesempatan mengikuti pameran dan berbagai pelatihan serta seminar
wirausaha yang diselenggarakan Bank Mandiri.
“Dalam
pelatihan itu saya mendapat banyak pelajaran tentang cara agar
perusahaan kita menjadi world class. Cara membangun kepercayaan diri,
melihat pasar, dan bagaimana membangun orang di dalam perusahaan. Itu
sangat berguna,” kata dia
Seiring
dengan perkembangan usaha pembuatan alat musik tradisional, kini Ikrar
mulai merambah bidang usaha lain, yakni pencucian pakaian, biro
perjalanan (travel), dan media online, yakni Matra Pos yang menyajikan
berita seputar Provinsi Sulawesi Barat. Dari modal Rp500 ribu, dia
sekarang mampu mengantongi omzet hingga Rp 200 juta per bulan dengan
jumlah karyawan 20 orang.
Ikrar
optimistis masa depan alat musik tradisional yang diproduksinya akan
cerah. Apalagi jika ide kreatif terus lahir dengan membuat variasi pada
alat musik tersebut. Tidak hanya berupa ukiran, tapi ditambah dengan
ornamen menarik seperti gambar atau sejenisnya. Ikrar berjanji akan
menjaga eksistensi usaha alat musiknya. Sebab jika tidak, dia khawatir
lima tahun kedepan generasi muda sudah tidak lagi mengenal warisan
budaya tersebut.
Ikrar
berencana mendirikan rumah kecapi untuk memudahkan masyarakat dan
wisatawan yang ingin belajar langsung tentang kecapi. Tidak hanya itu,
dia menargetkan mampu membangun usaha yang mempekerjakan ribuan orang
sebelum berusia 30 tahun. “Saat ini saya sedang merintis itu. Sekali
lagi tak ada yang tak mungkin jika kita berusaha dan berkerja
keras,”ujarnya.
Sumber : www.wirausahamandiri.co.id
Sumber : www.wirausahamandiri.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar